Selamat datang di blogku ^_^

Selasa, 17 April 2018

Sebelum Kautahu Itu Aku

Sama sepertimu. Jauh sebelum aku mengenalmu dan dipertemukan Sang Pencipta denganmu, kuketuk pintu-Nya terlebih dahulu. Di lima waktu sujudku dan diwaktu-waktu mustajab untuk mengadu. Kupintakan pada-Nya perihal sesiapa yang nantinya akan membimbingku menuju jannah-Nya dalam bingkai cinta halal yang Dia restu. “Ya Rabb, kusandarkan hatiku pada-Mu, bila menurut-Mu telah siap hamba untuk membingkai mahligai dalam cinta-Mu, maka pertemukanlah hamba dengan seseorang yang telah Engkau gariskan untukku dalam balut restu-Mu. Rabbij’alni muqimashshalati wamin dzurriyyatii, rabbanaa wataqabbal du’aa’”

Kuikhtiarkan segala yang kumampu, sambil kumohon doa dan dukungan dari kedua orang tuaku. Sempat kusebut satu nama, tetapi semakin lama semakin Engkau tampakkan bahwa yang kusebut bukanlah semestinya. Kemudian, waktu mempertemukanku denganmu. Kamu yang dengan ketegasanmu memohon diri kepada Ayah dan Ibu untuk dapat menjadi imamku. Trenyuh, tentu saja. Dalam ratusan kilometer jarak yang membentang dan pertemuan yang baru tercipta beberapa hari sebelum kaumeminta restu orang tuaku, kaumampu memvisualisasikan harap yang beberapa tahun terakhir senantiasa kulantukan dalam sujud dan pintaku. Maha Besar Engkau, Ya Rabb.

Sebagaimana kautahu bahwa akulah satu-satunya putri di keluargaku. Menjadi putri semata wayang tentu bukanlah hal yang mudah. Kesepian, pasti. Terlebih rumah hanya dihuni oleh tiga orang saja. Aku, ibu, dan ayah. Kalau beliau berdua sedang ada acara di luar? Tinggallah saya di rumah sendiri. Menekuri sepi. Biasanya momen semacam itu memantik inspirasi untuk berpuisi. Entah apa nanti yang tertoreh dalam lembar karya, tetap kunikmati hal itu selama membuatku nyaman dan menghapus jemu.

Setelah beberapa bulan kuabdikan diri di persyarikatan, kerap beberapa waktu terucap dari para tetangga, teman, saudara, dan kolega yang telah lebih dulu membina mahligai dalam ridho-Nya, "Kapan menyusul?", "Mengapa tak segera menikah? Bukankah sudah lulus kuliah?" pertanyaan klise yang hanya mampu kujawab dengan senyum dan kalimat singkat, "2018, doakan ya!" Berucap yang demikian pun nyatanya masih menimbulkan berbagai tanya yang menuntut jawab. Perihal siapa calonnya, anak mana, yang mana, rumahnya mana. Namun hanya kujawab dengan senyum saja. Kalau sudah tiba saat hari bahagia saya, nanti kalian juga tahu. Bathinku seakan turut menimpali.

Bagi saya, pernikahan bukan hanya sekadar menyatukan dua orang yang ditandai dengan akad. Bukan itu. Menikah berarti menyamakan visi, menyatukan tekad, saling melengkapi dengan kelebihan masing-masing. Mempertemukan dua keluarga, membangun satu kesepahaman, dan yang pasti perlu persiapan yang diimbangi dengan keilmuan bagaimana kelak berumah tangga. Bagaimana ketika menjadi seorang istri, apakah nanti tetap akan bekerja, akan tinggal di mana kelak, apa saja yang harus dipersiapkan ketika sudah menjadi suami-istri, harus dipikirkan dengan matang. Tidak sekadar berucap menikahlah!

Ketika orang tua bertanya kapan saya akan menikah, sudah adakah calon yang sesuai? Aku menjawab dengan kalimat yang sama. Aku akan menikah di tahun 2018. Sama dengan apa yang kutulis dalam planning kehidupan pada semester 2 masa studiku. Ada beberapa hal yang kutulis, apa yang ingin kucapai, tahun berapa target otu akan tercapai, bagaimana usahaku untuk mencapainya, semua aku tuliskan di sana. Beberapa hal sudah berhasil tercapai. Aku memiliki antologi puisi yang diterbitkan bersama dengan puisi karya teman satu kelas, aku lulus tepat waktu, berhasil meraih IPK cumlaude, dan beberapa lainnya. Dan tahun 2018 - tahun ini - adalah targetku untuk menikah. Aku sama sekali belum memiliki pandangan siapa yang akan menemani perjalananku kelak, tapi aku percaya bahwa Allah akan mengabulkan setiap doa hamba yang tak bosan meminta kepada-Nya. Kuikhtiarkan kepada-Nya apa yang kupinta dan tak tertinggal ada beberapa usaha untuk meraihnya pula.

Namun beberapa hari terakhir, aku memikirkan selarik kalimat yang kuterima di salah satu tangga tempatku mengabdi, tentang sebuah permintaan yang awalnya tak terduga sama sekali. Begitu pun beberapa hari setelahnya, ayahku juga berucap hal yang sama. Beliau pun menerima selarik kalimat tersebut dari orang yang sama. Dengan modal hanya mengetahui satu nama, aku mencoba berselancar di dunia maya. Berharap apa dapat kutemui jawabnya di sana. Awalnya aku mengetikkan satu nama yang telah lama kukenal dulu – sebelum dirimu – kemudian kutemukan sebuah foto keluarga dan berhasil kutemui apa yang aku cari. Kubuka dengan hati-hati pemilik akun yang sama sekali belum kukenal. Kuperhatikan dengan saksama berbagai postingan di akun tersebut. “Dia penulis.” begitu komentarku ketika kubaca setiap baris dalam tulisannya. Tak menunggu lama aku pun langsung menambahkan akun tersebut sebagai teman. Entah apa yang mendorongku melakukan hal itu, begitu saja terlintas.

Pada satu sore ketika sebuah pemberitahuan konfirmasi pertemanan masuk, kuberanikan diri untuk mengirimkan sebuah pesan kepada akun tersebut. Memohon izin untuk membaca setiap karya dan tak lupa saling memperkenalkan diri juga. Entah siapa yang memulai, tetapi perkenalan itu membawa karya yang terus tercipta hingga hari ini. Baik dariku begitu pun darimu. Kita sama-sama saling menikmati momen tersebut. Sampai pada suatu hari, di satu senja, kudengar suaramu untuk kali pertama. Begitu merdu. Dengan keteguhan yang padu kauucapkan selarik kalimat yang sempat beberapa detik membuatku terpaku. Tiada kusangka perkenalan yang sesingkat itu, mampu menumbuhkan karunia-Nya yang kerap orang menyebutnya dengan cinta. Kutahan air mata yang ingin meluruh di antara campur aduk rasaku, meski tanpa pertemuan terlebih dahulu, dengan santun kaumemintaku untuk membersamai laju menyempurnakan separuh agama dan mengharap ridho-Nya. Aku terharu. Tak mampu kurangkai susun kataku kala itu. Apa yang awalnya telah kurangkai dalam kepalaku, mendadak hilang tanpa tentu. Ya Rabb, bilakah ini jawaban atas doa-doaku pada-Mu, maka tuntun hamba untuk dapat menggapai restu-Mu bersamanya. 

Dipertemukan denganmu adalah satu kesyukuran yang kuucap senantiasa. Sama denganmu, aku titipkan cinta ini kepadaNya. Begitu pun dengan dirimu dan diriku. Sebab Dialah sebaik-baik penjaga yang ada.

Di ujung jemari yang dengan setia menimang aksara
Di antara bentangan jarak dua manusia
Kulantunkan apa-apa yang menjadi semoga
Kepada-Nya tentang apa yang didamba

Bojonegoro, 17 April 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar