Adaptasi dari novel Surat Kecil untuk Tuhan karya Agnes Davonar
Suara kicau burung di pagi hari, terdengar menembus
langit-langit kamarku. Aku masih terbaring, malas untuk bangun. Tapi sepertinya
bila aku terus tertidur, matahari akan marah padaku. Aku mencoba untuk tidur
kembali, tapi tak kuasa menahan sinar matahari yang terus terbayang-bayang di
wajahku. Baiklah... Aku menyerah dan akan bangun. Indahnya pagi beserta cahaya
matahari pagi juga mulai menyentuh seluruh isi ruangan kamarku yang cukup
besar.
Namun
ada yang aneh ketika aku terbangun di pagi hari. Aku merasa mataku terasa
perih. Aku segera melihat ke cermin di lemari kamar. Astaga!! Mataku memerah,
apa yang aku tahutkan benar-benar terjadi! Aku mendapat karma dari tingkahku yang
kemarin meledek Kak Kiki, kakakku yang paling manis, yang tertular penyakit
mata dari temannya. Kalau sudah begini aku hanya bisa pasrah.
Mataku
tak kunjung sembuh dan terus memerah bahkan mulai mengeluarkan air mata dan
terasa perih. Hidungku juga jadi sering mimisan untukbeberapa kali dalam
sehari. Ayah juga mulai cemas dan bingung melihat kondisi penyakitku. Aku mulai
merasa kesulitan bernafas karena lubang hidung sebelah kiriku benar-benar mati
rasa sejak hari itu. Atas saran dokter pribadi keluargaku, ayah membawaku ke
dokter ahli THT.
“Yuk..
ikut ke laboratorium sebentar”