Selamat datang di blogku ^_^

Rabu, 07 Mei 2014

Kutulis CintaMu di Hidupku

Adaptasi dari novel Surat Kecil untuk Tuhan karya Agnes Davonar


            Suara kicau burung di pagi hari, terdengar menembus langit-langit kamarku. Aku masih terbaring, malas untuk bangun. Tapi sepertinya bila aku terus tertidur, matahari akan marah padaku. Aku mencoba untuk tidur kembali, tapi tak kuasa menahan sinar matahari yang terus terbayang-bayang di wajahku. Baiklah... Aku menyerah dan akan bangun. Indahnya pagi beserta cahaya matahari pagi juga mulai menyentuh seluruh isi ruangan kamarku yang cukup besar.
Namun ada yang aneh ketika aku terbangun di pagi hari. Aku merasa mataku terasa perih. Aku segera melihat ke cermin di lemari kamar. Astaga!! Mataku memerah, apa yang aku tahutkan benar-benar terjadi! Aku mendapat karma dari tingkahku yang kemarin meledek Kak Kiki, kakakku yang paling manis, yang tertular penyakit mata dari temannya. Kalau sudah begini aku hanya bisa pasrah.
Mataku tak kunjung sembuh dan terus memerah bahkan mulai mengeluarkan air mata dan terasa perih. Hidungku juga jadi sering mimisan untukbeberapa kali dalam sehari. Ayah juga mulai cemas dan bingung melihat kondisi penyakitku. Aku mulai merasa kesulitan bernafas karena lubang hidung sebelah kiriku benar-benar mati rasa sejak hari itu. Atas saran dokter pribadi keluargaku, ayah membawaku ke dokter ahli THT.
“Yuk.. ikut ke laboratorium sebentar”


Aku bingung, begitu juga dengan ayah. Kami mengikuti saja kehendak dokter yang membawa kami ke sebuah ruangan canggih. Ia meminta aku berbaring kemudian menutup mataku dengan penutup mata terbuat dari kain. Setelah itu, aku merasa hangat oleh sebuah sinar merah yang terus bergerak di kepalaku. Proses ini dinamakan ronsen dan berlangung singkat. Walau sedikit nervous, akhirnya aku selesai menghadapi sebuah alat canggih kedokteran. Entah mengapa setelah itu, Prof. Lukman menyuruhku untuk menunggu di luar sepanjang ia berbicara dengan ayahku.
“Pak Jody... mohon bapak kuat mendengar semua ini” Jelas Prof. Lukman yang mulai membuat ayah sedikit bingung.
“Ada apa dengan putri saya, Prof?” Tanya ayah.
“Hasil diagnosa saya menunjukkan secara positif putri bapak terinfeksi penyakit Rabdobiosarkoma, penyakit ini tergolong kanker atau dalam bahasa lokalnya kanker jaringan lunak”
“saya tidak begitu mengerti penyakit ini. Tapi bagaimana bisa?. Bukannya Keke Cuma flu dan sakit mata saja? Prof bercanda ya?” Tanya ayah gusar.
“Mohon bapak tenangkan diri sebentar. Saya minta maaf sebelumnya. Saya sudah menjadi dokter ahli THT selama puluhan tahun. Saya yakin apa yang saya katakan benar. Putri anda benar-benar sudah terinfeksi kanker paling ganas dalam tingkatan kanker. Kanker ini masuk stadium tiga dan perkembangannya setiap lima hari akan terus tumbuh bertambah besar. Kanker inilah yang menyebabkan Keke kesulitan bernafas dan mata sebelah kirinya terus memerah. Bisa jadi kasus putri bapak ini kasus pertama dalam hidup saya dan juga di Indonesia”
“Ya Tuhan...” Ujar ayah terkejut.
Pembicaraan pun usai dengan air mata ayah yang tak kuasa menahan sedih.
Aku tak mengerti apa yang terjadi tapi wajah ayah tampak bersedih. Saat itu juga ayah berlutut mengikuti tinggi badanku. Dia memandangku dengan wajah penuh cemas kemudian memelukku secara tiba-tiba. Aku bingung melihat ayah yang sembab seperti habis menangis ditambah dengan sikapnya yang tidak biasa. Ayah hanya terdiam dengan pandangan kosong ke depan. Ia mengajakku pulang, padahal aku belum sempat berpamitan dengan Prof. Lukman. Ayah tidak banyak bicara setelah itu. Tidak ada canda apapun di dalam mobil saat kami pulang. Ayah terlihat berbeda dari biasanya.
Rasa sakit pada hidungku mulai lebih menyakitkan, disertai ngilu di bagian rahang yang menghambat pernafasanku. Aku hanya bisa bertahan untuk tidak membuat diriku seolah sakit. Aku ingin buktikan kalau apa yang ayah katakan adalah benar. Pada kenyataannya aku memang sakit lebih buruk dan semakin buruk saja. Sehari kemudian ayah masih bersikap sama padaku, dan aku pun sudah berusaha untuk terbiasa.
Hari selanjutnya muncul benjolan lunak di bawah kelopak mataku. Aku jadi merasa ada bisul. Saat kutekan tidak terasa seperti bisul, bentuknya seperti daging lunak. Mataku selalu berair, sepertinya kuit sebagian wajah kiriku ikut membengkak. Aku berteriak bertanya kepada keluargaku tentang munculnya bagian kulit aneh ini. Mereka semua hanya bilang itu akibat pengaruh obat.
Kanker itu terus berkembang dalam waktu singkat. Tidak perlu menunggu waktu dimana kanker itu tumbuh semakin besar di wajahku. Aku mulai kehilangan rasa peka dan penciuman bukan hanya dari satu lubang hidung, tapi kini keduanya. Wajahku semakin tak beraturan. Kanker itu mulai membesar seukuran bola tenis, rasanya berat dan menyakitkan. Mukaku mulai memerah warnanya, bahkan kanker itu dengan tega menarik kulit mata sebelah kiriku kebawah hingga penglihatanku benar-benar terganggu.
Semakin hari bengkak di wajahku semakin parah. Bahkan hidung dan mata sebelah kiriku terlihat menghilang. Benjolan besar yang dulunya seukuran bola tenis kini mulai membesar sebesar kelapa di wajahku. Karena terasa berat aku pun mencoba mengurangi pergerakan karena rasanya sakit sekali bila tersentuh seperti seribu semut yang menggigitku. Aku bahkan tidak sanggup untuk melihat diriu sendiri di cermin.
Setiap hari ayah selalu membawa dokter dan orang-orang pintar yang berbeda-beda untukku. Namun mereka selalu merahasiakan suatu hal padaku. Aku bosan dengan keadaan yang sama, mereka tidak membuatku tenang. Rasa emosi pun menghantuiku hingga akhirnya aku mulai berontak untuk bertanya dan meminta penjelasan pada ayah akan penyakitku ini. Tapi ayah hanya mengatakan bahwa aku kena penyakit tumor dan sinus yang berlebihan.

☺☺☺

Hujan rintik-rintik terdengar ringan di telingaku, dan aku terbangun. Baru saja aku melewati hari idul fitri. Aku senang karena bisa melewati puasa tahun ini dengan baik. Walau sedikit bolong, setidaknya aku telah berusaha melakukan yang terbaik. Walau kondisiku telah memburuk, aku berusaha melakukan kunjungan ke tempat saudaraku untuk meminta maaf lahir dan bathin.
Kini wajahku kembali membesar dan terus membesar. Aku mulai merasakan kesakitan yang tidak bisa kujelaskan. Nafasku terasa berat, dan setiap tarikan nafas untuk mengambil udara dari paru-paru menusuk hatiku dan membuat aku harus menahan dengan sekuat tenaga. Tapi aku tidak lagi merasa ingin menangis arena aku sudah berjanji pada hatiku untuk selalu kuat.
Aku hanya mencoba hidup bersama kanker tersebut dengan damai. Aku berharap setidaknya aku bisa hiduo secara normal walau dari hari ke hari aku mulai melemah dan tidak sehat. Kalau kanker itu mulai protes, terkadang aku tidak bisa pergi sekolah dan agar tidak tertinggal pelajaran, aku terpaksa meminjam catatan dari teman sekelasku. Hal itu kulakukan agar saat ujian akhir semester, aku bisa mengikutinya. Setidaknya bisa merasakan saat-saat indah itu bergulir.
Aku mulai kelelahan dan ingin tidur lebih lama. Entah mengapa aku mulai merasa lelah untuk bangkit dari tempat tidur. Kakiku sangat lemas, bahkan tidak ingin bekerja sama dengan diriku. Disaat-saat aku menajdi lumpuh seperti ini, sebuah film yang cukup menyentuh selalu hadir menjadi teman setiaku menghabiskan waktu di kamarku. Sebuah film yang begitu inspiratif dan membuatku selalu tegar dalam saat-saat terakhir hidupku. Sebuah film yang diangkat dari kisah nyata yang berjudul Buku Harian Nayla.
Hari demi hari, detik demi detik yang berjalan membuatku berpikir akan suatu hati hal kelak. Bila saja kelak aku sungguh tidak ada, apa yang akan terjadi dengan dunia ini tanpaku. Mungkin terkadang aku takut untuk menghadapi hal tersebut. Tapi, aku telah siap. Mungkin waktuku telah mulai berhitung untuk mundur saat tiba-tiba nafasku berakhir. Kalau saja itu terjadi, maka aku berharap setiap kenangan yang ada dihatiku mulai muncul. Entah itu masa ketika aku kecil, hingga masa-masa dimana aku pernah bahagia muncul dalam mimpiku dapat terkenang abadi.
Rukun dan bahagialah ketika Keke pergi
Tulisan tersebut setidaknya menjadi harapan terakhirku. Setelah apa yang ingin kusampaikan telah selesai, aku merasa lelah dan ingin memejamkan mata kembali. Air mata menjadi tanda terakhir ketika aku memejamkan mata.

Tuhan...
Andai aku bisa kembali
Aku ingin tidak ada tangisan

Tuhan
Andai aku bisa kembali
Aku tidak ingin ada lagi hal yang sama terjadi padaku
Terjadi pada siapapun

Tuhan
Andai aku dapat melihat dengan mataku
Untuk memandang langit dan bulan setiap harinya

Tuhan
Andai aku bisa memohon
Jangan ada tangis dan duka di dunia lagi

Tuhan
Andai aku bisa menulis surat untukmu
Jangan pisahkan aku dari sahabat
Dan orang yang aku sayangi

Aku ingin menjadi dewasa seperti
Burung yang bisa terbang ketika ia dewasa
Aku ingin ayah melihat aku ketika
Aku memiliki lagi keindahan geraian rambut..

Tuhan
Surat kecilku ini..
Adalah permintaan terakhirku

Andai aku bisa kembali..