Dalam gelap
kumelihatmu.
Dalam sepi kutak
kehilanganmu.
Dalam malam
kumemandangmu.
Walau jauh,
kumerasakan kau dekat.
Aku bahagia ketika aku mampu mengungkapkan.
Menuangkan setetes kehidupan, menggoreskan aliran pengalaman, mendendangkan
melodi perjalanan, meniupkan semerbak perjuangan, terbingkai dalam suka, duka,
tangis, dan tawa. Meski hanya sebagai kawan sekeping hati yang mencari hiburan,
aku tetap bahagia. Bagaikan berkelana menjelajah semesta yang penuh bunga,
menyimpan pepohonan bermacam buah-buahan, memanjakan mata dan raga, menjadi
pengobat rasa dahaga.
Sesekali jemariku menyibak tirai jendela
kamar yang terbang dipermainkan angin malam. Perjalanan tinta hitamku sejenak
terhenti, membiarkan sepasang mataku menikmati panorama langit malam ini. Penuh
kilau mutiara yang silih berganti mengerling ke arahku. “Apakah kau juga menikmati suguhan langit malam ini? Akankah kau
menangkap kerinduanku yang kutitipkan pada kerlip bintang? Bisakah kau melihat
senyumku di sana?”. Saraf dalam kepalaku berkolaborasi menyusun alfabet
sarat makna. Mencoba menafsirkan isyarat kalbu yang menimbun kerinduan teramat
dalam. Merindukan hadirnya sosok yang hampir empat bulan sudah tak kutemui. Ya,
hanya suaranya yang menjadi ramuan untuk mengobati kerinduan yang semakin hari
semakin bertambah bobotnya, meski hanya untuk sementara.
“Untuk
sebuah kenangan, jarak tak pernah memisahkan dua hati yang saling peduli. Walau
terpisah ribuan mil, dalam hitungan detik kita akan disana kembali”.
Mungkin kalimat itulah yang aku genggam erat
sampai saat ini. Kalimat indah yang sempat dia kirim enam belas hari pasca hari
jadian kita. Ibarat mendaki tangga tali dalam suatu permainan, tak mungkin bisa
melewatinya tanpa ada kerja sama dan rasa saling percaya satu sama lain. Aku
pun demikian. Tanpa kepercayaan, mungkin aku tak lagi berpijak dan tak lagi
membingkai setiap kenangan dalam perjalanan cintaku. Mungkin bukan hanya aku,
tetapi semua orang yang hidup di dunia.
☺ ☺ ☺
“Maaf,
aku tidak bisa pulang untuk semester ini. Mungkin libur semester kita baru bisa
bertemu,” ucapnya dalam sebuah percakapan panjang di telepon.
“Lama
sekali, aku sudah sangat merindukanmu,” nada manja dan sedikit kecewa
mendominasi kalimat yang baru saja lolos dari mulutku.
“Begitu
juga dengan aku, Venus. Aku juga sangat merindukanmu, bahkan rinduku sudah
memuncak.”
Darahku
berdesir mendengar ujarannya, meskipun dalam situasi yang sedikit sendu, dia
masih bisa membuatku tak bernapas sejenak, “tapi…”
Dengan
suaranya yang selalu aku rindukan, Mars memotong kalimatku, “Ve, kita masih
berada dalam benua yang sama, bahkan kita tidak terpisah oleh samudra. Kita
hanya berbeda provinsi, tetapi kita masih memandang langit yang sama.”
Aku
tertegun, terhenyak dengan kalimat indah yang meluncur dari mulutnya. Benar apa
yang dia katakan, bumi yang kita tinggali masih berada dalam naungan langit
yang sama, “kamu benar, Mars. Langit kita masih sama, bahkan aku bisa merasakan
kerlipmu di sana.”
“Ve,
di mana pun kita berada, sejauh apapun jarak memisahkan kita, selalu ingat satu
hal itu, kita masih berada dalam langit yang sama.”
Kalimat yang begitu manis, semanis cinta yang
aku dapat dari seorang Mars yang harus dipisahkan oleh jarak demi meraih masa
depan cerah. Aku tersenyum dan senyum ini membawaku kembali ke alam sadarku.
Ah, ternyata memoriku masih dengan kuat menyimpan percakapan panjangku dengan
Mars. Ya, percakapan indah yang menghias hari-hari panjangku menunggu waktu
berdamai denganku, mempertemukan kita, mempertemukan Venus dan Mars.
Kembali kupandang langit malam ini, “Mars, aku masih berada dalam dekapan langit
yang sama denganmu. Berjuanglah! Aku selalu setia menunggu hadirmu.”
Perjalanan indah bukan dimulai ketika kita
menemukan keindahan, tetapi ketika kita berproses menuju keindahan tersebut.
Memang tak mudah dan penuh jalan berliku, namun menyerah adalah sebuah kata
putus asa yang akan semakin menjauhkan kita dari keindahan. Aku bahagia,
mungkin karena rasa bahagia itu hubungan yang kujalani terasa indah dan
menyenangkan. Mars memang jauh, tapi sejauh-jauhnya Mars, aku masih bisa
merasakan hadirnya. Dia selalu ada di relung kalbu, hadir di setiap mimpi
indahku.
Dalam
harmoni, kutitipkan doa,
kubisikkan
pada semesta, “aku menyapamu, selalu setia menjaga janjimu.”