Satu persatu
kuamati air yang tercurah dari kabut gelap yang tergantung di langit, meniupkan
kesejukan dan memperdengarkan harmoni merdu yang menghampiri gendang telinga.
Anganku terbang bersama angin yang sayup-sayup berhembus. Beberapa hari yang
lalu, aku dihadapkan dengan sekelumit perbincangan yang cukup memeras otak.
“Apa
yang masih memberatkanmu, Syamsa?” Hampir puluhan kali aku mendengar pertanyaan
ini meluncur dari mulut Hana, sahabatku yang paling setia meski tak jarang aku
menyakiti hatinya. Dialah orang yang selalu percaya denganku.
“Aku
tak tahu” Ucapku singkat sambil mengepulkan asap dihadapannya. Benda kecil
inilah yang menjadi pelarianku sekaligus menjadi temanku saat suasana hatiku
sedang tak menentu, seperti saat ini. Dan hanya Hana seorang yang mengetahui
hal ini.
“Syamsa...”
Mungkin kosa kata dalam otak Hana telah mencapai batas akhir, dia tak mampu
lagi berkomentar tentang kelakuanku. Akupun tak habis pikir, sejak dua tahun
lalu aku tak bisa lepas dari benda mungil pengancam hidup yang kerap kali
disebut dengan rokok.
“Sulit,
Han” Hana membiarkan aku menyelesaikan kalimatku “Setiap kali aku mencoba
berhenti, tapi masalah berat selalu menghampiri. Seolah mereka tak mau
membiarkanku lepas dari pengancam hidup ini” Berasa mimpi, pita suaraku dapat
memutar kalimat seperti itu. Hana pun sepertinya terhenyak dengan apa yang baru
saja dia dengar, tapi dia menutupi dengan senyum yang mampu menentramkan hati
siapapun yang melihatnya.
“Sulit
tak berarti apa-apa jika pada akhirnya kamu bisa menemukan keindahan yang
mungkin tak bisa kau temukan saat ini” Aku memandang Hana yang terus berbicara
“Ingat Sa, lebih baik kamu mengakhiri semua ini sekarang, daripada kamu
menyesal akhirnya”.
Inilah yang
membuatku senang bersahabat dengan Hana, meski tahu kelakuanku seperti ini,
tapi dia tak pernah menjaga jarak dariku. Dia terus memberikan kalimat-kalimat
indah yang sedikit demi sedikit bisa memotivasi aku untuk berubah menjadi lebih
baik. Aku salut dengan pemikirannya, walaupun kita memiliki usia yang sama tapi
aku harus mengakui pikirannya lebih dewasa daripada aku.
Gema adzan
membangunkanku dari lamunan panjang, dan mengisyaratkan bahwa waktu asar sudah
tiba.
“Astaghfirullah...” Gumamku seraya
beranjak mengambil air wudhu dan segera melaksanakan kewajiban.
***
Warna gelap
telah mendominasi hari, hujan yang sejak siang tercurah hanya menyisakan rasa
dingin yang mempercepat datangnya kantuk. Tak terkecuali denganku, namun aku
masih dibebani dengan teriakan-teriakan yang mendominasi otakku. Kata-kata yang
diucapkan Hana masih mengiang di telinga.
“...Ingat
Sa, lebih baik kamu mengakhiri semua ini sekarang, daripada kamu menyesal
akhirnya”.
“Mengapa sulit
sekali, Ya Allah?” Ucapku dalam kesunyian malam.
Mungkin
kebanyakan orang berpikir kelakuanku seperti ini karena kurang kasih sayang.
Namun, mereka harus menarik hipotesis tersebut karena orang tuaku tak pernah
kurang menginvestasikan kasih sayangnya untukku, dan aku sendiri tak pernah
mengerti mengapa sikapku justru menyeleweng yang pasti akan membuat kedua orang
tuaku kecewa jika mengetahuinya. Kualihkan pandanganku pada kotak kecil
berwarna hijau yang ada di atas tas sekolahku, disanalah aku menyimpan benda
pengancam hidup tersebut. Dengan niat yang sudah bulat dan emosi yang memuncak
di kepala, aku mengambil dan membawanya pergi. Berlari jauh meninggalkan rumah,
tak peduli berapa jauh kakiku akan berlari. Aku ingin dia membawaku sejauh
mungkin sehingga aku bisa melupakan benda pengancam hidup tersebut. Langkahku terhenti tepat di atas
bukit yang sepi tapi menjadi tempat favorit orang-orang untuk melakukan jogging
di pagi hari. Aku memandang sekeliling, tak ada yang bisa kulihat, karena hanya
gelap yang mendominasi.
“Orang
tak akan percaya dengan sikapmu yang seperti ini, Sa. Mereka mengenalmu sebagai
sosok yang perfect. Kamu berjilbab, tak pernah meninggalkan shalat lima waktu,
suka menolong, patuh sama orang tua, dan kamu juga termasuk siswa berprestasi!
Tapi kenapa kamu menyia-nyiakan apa yang sudah kamu miliki dengan benda kecil pengancam
hidup yang justru akan merusak organ-organ dalam tubuhmu ? Kamu itu perempuan,
Syamsa...” Kata-kata Hana beberapa hari lalu kembali mengitari
memoriku.
“ARRGH !!!”
Teriakku memecah udara yang bercampur dengan sunyinya malam. Berat sekali melepaskan
benda dalam genggamanku, seolah ada lem di sekitarnya. Namun tekadku sudah
bulat untuk melenyapkannya.
“Jujur, aku sangat mencintaimu. Kau ada saat
aku sedang dalam masalah, dan kaulah yang selalu setia menemaniku. Entah
mengapa, aku merasa berat untuk melepasmu. Padahal aku tahu jika aku terus
mempertahankanmu, maka hidupku akan sengsara dan menderita. Lagipula, tak
sepantasnya aku menyentuhmu” Ucapku sambil memandang benda yang tergenggam
dalam tangan kananku
“Ya
Allah... bantulah hamba pergi jauh dari benda terkutuk itu ! Bismillah...”
Ucapku dalam hati. Dengan penuh keyakinan aku lemparkan kotak hijau dalam
genggamanku itu sejauh mungkin dan aku berharap tak pernah menemukan dan
menjadikannya pelampiasan masalahku.
Tak terasa aku
meneteskan air mata mengiringi kepergian benda yang seharusnya tak pantas untuk
ditangisi. Namun, aku segera menguasai diriku. Aku harus kembali ke kamarku
sebelum ayah dan bunda menyadari aku berada di luar.
***
Sejak saat itu,
aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengingatnya lagi. Aku menghabiskan
waktu melakukan hal-hal yang lebih baik bersama dengan teman-temanku. Kadang
disaat sendiri, hasrat untuk kembali menyentuh benda pengancam hidup muncul.
Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk melawannya. Dan aku mencoba mengalihkan
dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat seperti membaca buku, atau mungkin
berkelana dalam dunia tak nyata. Aku sadar, kebodohanku beberapa tahun
belakangan ini membuatku menutup mata dengan keindahan yang ada di dunia.
Kesendirian
adalah pemicu utama aku menyentuh benda itu. Jarang sekali aku membuka diri
dengan teman-teman tentang problem yang kuhadapai. Aku sering menyimpan sendiri
dan mencari solusi sendiri. Bahkan aku tak pernah mendiskusikan masalah yang
kuhadapi jika memang masalah itu ada sangkut pautnya juga dengan teman-teman.
Dan inilah yang membuatku lari ke benda pengancam hidup tersebut. Tenyata
benar, syetan lebih mudah menggoda manusia saat mereka merasa sendiri dan
terbebani, padahal sebenarnya banyak yang mau peduli jika kira membuka diri.
Aku sangat
berterima kasih kepada Hana, karena dia kanvas kehidupanku semakin penuh dengan
warna-warna baru yang lebih cerah dan indah. Dialah yang selalu berusaha
membuka mataku bahwa dunia ini penuh dengan warna-warna yang mempesona.
“Ayah,
bunda... maafkan kebodohanku selama ini. Aku janji akan membuat kalian bahagia
dan bangga memiliki aku. Aku akan buktikan, aku bisa melukis pelangi dalam
kanvas kehidupan kita dan akan kupetik bintang untuk kupersembahkan padamu
ayah, bunda!”
Aku senang jejak
awan hitam yang menaungi kehidupanku, telah berubah menjadi pelangi yang indah
dan membawa keindahan pula untuk orang-orang yang ada di sekitarku.