Selamat datang di blogku ^_^

Jumat, 06 September 2013

Menghapus Jejak Awan Hitam



Satu persatu kuamati air yang tercurah dari kabut gelap yang tergantung di langit, meniupkan kesejukan dan memperdengarkan harmoni merdu yang menghampiri gendang telinga. Anganku terbang bersama angin yang sayup-sayup berhembus. Beberapa hari yang lalu, aku dihadapkan dengan sekelumit perbincangan yang cukup memeras otak.
“Apa yang masih memberatkanmu, Syamsa?” Hampir puluhan kali aku mendengar pertanyaan ini meluncur dari mulut Hana, sahabatku yang paling setia meski tak jarang aku menyakiti hatinya. Dialah orang yang selalu percaya denganku.
“Aku tak tahu” Ucapku singkat sambil mengepulkan asap dihadapannya. Benda kecil inilah yang menjadi pelarianku sekaligus menjadi temanku saat suasana hatiku sedang tak menentu, seperti saat ini. Dan hanya Hana seorang yang mengetahui hal ini.

“Syamsa...” Mungkin kosa kata dalam otak Hana telah mencapai batas akhir, dia tak mampu lagi berkomentar tentang kelakuanku. Akupun tak habis pikir, sejak dua tahun lalu aku tak bisa lepas dari benda mungil pengancam hidup yang kerap kali disebut dengan rokok.
“Sulit, Han” Hana membiarkan aku menyelesaikan kalimatku “Setiap kali aku mencoba berhenti, tapi masalah berat selalu menghampiri. Seolah mereka tak mau membiarkanku lepas dari pengancam hidup ini” Berasa mimpi, pita suaraku dapat memutar kalimat seperti itu. Hana pun sepertinya terhenyak dengan apa yang baru saja dia dengar, tapi dia menutupi dengan senyum yang mampu menentramkan hati siapapun yang melihatnya.
“Sulit tak berarti apa-apa jika pada akhirnya kamu bisa menemukan keindahan yang mungkin tak bisa kau temukan saat ini” Aku memandang Hana yang terus berbicara “Ingat Sa, lebih baik kamu mengakhiri semua ini sekarang, daripada kamu menyesal akhirnya”.
Inilah yang membuatku senang bersahabat dengan Hana, meski tahu kelakuanku seperti ini, tapi dia tak pernah menjaga jarak dariku. Dia terus memberikan kalimat-kalimat indah yang sedikit demi sedikit bisa memotivasi aku untuk berubah menjadi lebih baik. Aku salut dengan pemikirannya, walaupun kita memiliki usia yang sama tapi aku harus mengakui pikirannya lebih dewasa daripada aku.
Gema adzan membangunkanku dari lamunan panjang, dan mengisyaratkan bahwa waktu asar sudah tiba.
Astaghfirullah...” Gumamku seraya beranjak mengambil air wudhu dan segera melaksanakan kewajiban.

***

Warna gelap telah mendominasi hari, hujan yang sejak siang tercurah hanya menyisakan rasa dingin yang mempercepat datangnya kantuk. Tak terkecuali denganku, namun aku masih dibebani dengan teriakan-teriakan yang mendominasi otakku. Kata-kata yang diucapkan Hana masih mengiang di telinga.
 “...Ingat Sa, lebih baik kamu mengakhiri semua ini sekarang, daripada kamu menyesal akhirnya”.
“Mengapa sulit sekali, Ya Allah?” Ucapku dalam kesunyian malam.
Mungkin kebanyakan orang berpikir kelakuanku seperti ini karena kurang kasih sayang. Namun, mereka harus menarik hipotesis tersebut karena orang tuaku tak pernah kurang menginvestasikan kasih sayangnya untukku, dan aku sendiri tak pernah mengerti mengapa sikapku justru menyeleweng yang pasti akan membuat kedua orang tuaku kecewa jika mengetahuinya. Kualihkan pandanganku pada kotak kecil berwarna hijau yang ada di atas tas sekolahku, disanalah aku menyimpan benda pengancam hidup tersebut. Dengan niat yang sudah bulat dan emosi yang memuncak di kepala, aku mengambil dan membawanya pergi. Berlari jauh meninggalkan rumah, tak peduli berapa jauh kakiku akan berlari. Aku ingin dia membawaku sejauh mungkin sehingga aku bisa melupakan benda pengancam  hidup tersebut. Langkahku terhenti tepat di atas bukit yang sepi tapi menjadi tempat favorit orang-orang untuk melakukan jogging di pagi hari. Aku memandang sekeliling, tak ada yang bisa kulihat, karena hanya gelap yang mendominasi.
“Orang tak akan percaya dengan sikapmu yang seperti ini, Sa. Mereka mengenalmu sebagai sosok yang perfect. Kamu berjilbab, tak pernah meninggalkan shalat lima waktu, suka menolong, patuh sama orang tua, dan kamu juga termasuk siswa berprestasi! Tapi kenapa kamu menyia-nyiakan apa yang sudah kamu miliki dengan benda kecil pengancam hidup yang justru akan merusak organ-organ dalam tubuhmu ? Kamu itu perempuan, Syamsa...” Kata-kata Hana beberapa hari lalu kembali mengitari memoriku.
“ARRGH !!!” Teriakku memecah udara yang bercampur dengan sunyinya malam. Berat sekali melepaskan benda dalam genggamanku, seolah ada lem di sekitarnya. Namun tekadku sudah bulat untuk melenyapkannya.
 “Jujur, aku sangat mencintaimu. Kau ada saat aku sedang dalam masalah, dan kaulah yang selalu setia menemaniku. Entah mengapa, aku merasa berat untuk melepasmu. Padahal aku tahu jika aku terus mempertahankanmu, maka hidupku akan sengsara dan menderita. Lagipula, tak sepantasnya aku menyentuhmu” Ucapku sambil memandang benda yang tergenggam dalam tangan kananku
“Ya Allah... bantulah hamba pergi jauh dari benda terkutuk itu ! Bismillah...” Ucapku dalam hati. Dengan penuh keyakinan aku lemparkan kotak hijau dalam genggamanku itu sejauh mungkin dan aku berharap tak pernah menemukan dan menjadikannya pelampiasan masalahku.
Tak terasa aku meneteskan air mata mengiringi kepergian benda yang seharusnya tak pantas untuk ditangisi. Namun, aku segera menguasai diriku. Aku harus kembali ke kamarku sebelum ayah dan bunda menyadari aku berada di luar.

***

Sejak saat itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengingatnya lagi. Aku menghabiskan waktu melakukan hal-hal yang lebih baik bersama dengan teman-temanku. Kadang disaat sendiri, hasrat untuk kembali menyentuh benda pengancam hidup muncul. Tapi aku berusaha sekuat tenaga untuk melawannya. Dan aku mencoba mengalihkan dengan kegiatan lain yang lebih bermanfaat seperti membaca buku, atau mungkin berkelana dalam dunia tak nyata. Aku sadar, kebodohanku beberapa tahun belakangan ini membuatku menutup mata dengan keindahan yang ada di dunia.
Kesendirian adalah pemicu utama aku menyentuh benda itu. Jarang sekali aku membuka diri dengan teman-teman tentang problem yang kuhadapai. Aku sering menyimpan sendiri dan mencari solusi sendiri. Bahkan aku tak pernah mendiskusikan masalah yang kuhadapi jika memang masalah itu ada sangkut pautnya juga dengan teman-teman. Dan inilah yang membuatku lari ke benda pengancam hidup tersebut. Tenyata benar, syetan lebih mudah menggoda manusia saat mereka merasa sendiri dan terbebani, padahal sebenarnya banyak yang mau peduli jika kira membuka diri.
Aku sangat berterima kasih kepada Hana, karena dia kanvas kehidupanku semakin penuh dengan warna-warna baru yang lebih cerah dan indah. Dialah yang selalu berusaha membuka mataku bahwa dunia ini penuh dengan warna-warna yang mempesona.
“Ayah, bunda... maafkan kebodohanku selama ini. Aku janji akan membuat kalian bahagia dan bangga memiliki aku. Aku akan buktikan, aku bisa melukis pelangi dalam kanvas kehidupan kita dan akan kupetik bintang untuk kupersembahkan padamu ayah, bunda!”
Aku senang jejak awan hitam yang menaungi kehidupanku, telah berubah menjadi pelangi yang indah dan membawa keindahan pula untuk orang-orang yang ada di sekitarku.

02 Oktober 2012