Selamat datang di blogku ^_^

Minggu, 13 Januari 2019

Bait Aksara Jingga; Kepingan Langkah Menggenggam Romansa (Episode 1)

#1

Rindu Sunyi

Kau pernah tahu bagaimana rasanya sepi?
Ketika tak satu pun suara yang kaurindu menyapa diri.
Ketika tak sebaris aksara pun tertulis dalam puisi.
Ketika tak sedetik pun waktu membolehkanmu bermimpi.



Kau pernah tahu bagaimana rasa merindu?
Ketika hati yang telah menyatu 
tak bertegur dalam heningnya waktu tanpa temu

                                                                                  Jingga, 2018.


● ● ●

Namaku Jingga. Anugerah Jingga Azzahra. Aku seorang perempuan yang suka bermain dengan kata-kata. Bukan untuk membohongi massa, tetapi untuk sekadar mengungkap segala yang bergelayut dalam rasa.  Seperti halnya sore ini, seusai membereskan segala pekerjaan, aku duduk di sebuah kursi kayu yang ada di beranda rumah. Kupandang arak-arakan awan yang saling berkejaran. Sesekali otakku bergeliat menari bersama ribuan aksara yang meminta untuk segera ditumpahkan. Dipadukan menjadi susunan bait dalam rimba kata yang bersinambungan. 

Aku sedang tak ingin berkisah. Namun entah mengapa bisikan hati mengatakan bahwa aku sedang berkilah.  Meski aksara berlimpah ruah, rasanya tidak ada satu pun yang sekadar mampir untuk digubah. “Lantas, harus bagaimana diriku sekarang? Hanya duduk diam memandang awan? Tidak adakah yang lebih berfaedah?” Batinku berkecamuk memita jawaban.

Kututup perlahan kedua mataku. Mencoba menekuri ketidakteraturan akal dan batin yang menggerogoti diri. Tetiba sekelebat bayangan muncul di pejam mataku. Melukiskan wajahmu. Aku pun tersadar, sejak dua bulan lalu belum ada satu pun pesan darimu. 

“Kaubaik-baik saja bukan?” Tanyaku lirih. Nyaris tak terdengar oleh telingaku sendiri.

Kupandangi ponsel pintar yang ada digenggamanku.  Meski berkali-kali kubuka menu pesan, namamu tidak ada di deretan atas layar ponselku. Sejak empat hari lalu. Sama sekali tidak berubah. Namamu masih di urutan paling akhir. 

“Jadi, kapan aku bisa membaca pesan indahmu?” 

● ● ●

“Kaubelum tidur, Jingga?” Kulihat kedua mata Mama memerah menahan kantuk ketika menghampiriku yang masih duduk di depan layar laptop di kamarku. 

“Belum, Ma.”

Kulihat Mama mendekat ke arahku. Melihat apa yang tengah kulakukan di hadapan layar laptop 14 inci berwarna putih itu. Napasnya terdengar mengembus dalam. Mengisyaratkan bahwa ia paham dengan apa yang ada dalam pikiran sang anak. 

“Mega belum mengabarimu?” 

Aku tersenyum. Mama beranjak menuju pinggiran tempat tidurku dan duduk di sana. “Belum, Ma.”

Febri Megantara. Laki-laki baik yang enam bulan lalu membuatku menyandang status sebagai seorang istri. Mengapa kukatakan ia baik? Satu bulan sebelumnya, ketika tidak satu pun laki-laki yang mendekatiku berani memohon restu kedua orang tuaku, dengan gagahnya ia menggandeng lengan kedua orang tuanya untuk menghadap orang tuaku dan meminta restu. Kala itu, aku pun tak mampu menyuarakan lisanku. Hanya berharap bahwa ia orang yang selama ini kutunggu. Dan akhirnya, sebulan kemudian ia buktikan keseriusannya meminangku. 

“Sudah dua bulan ya?” 

Aku tersadar dari lamunan dan tersenyum mendengar celetukan Mama. “Mama seharusnya sudah paham bagaimana Mega sejak ia pertama kali menjejakkan langkah di rumah ini bersama orang tuanya.”

Mama berdiri dan ikut tersenyum, “Tapi setidaknya dia meluangkan sedikit waktunya untukmu.” Mama mengelus kepalaku perlahan. Satu hal yang selalu kusuka dari dulu. Rasanya keping-keping masalahku luruh ketika tangan lembutnya menyentuh ubun-ubun.

“Mega pasti meluangkan waktunya untuk Jingga, Ma. Percayalah!” Kutatap bola mata Mama yang masih teduh walaupun dalam kondisi mengantuk, “Hanya saja belum untuk saat ini.”

Kembali kutatap monitor laptopku yang sempat beberapa waktu kuabaikan. Tampaknya ribuan aksara yang sore tadi menghias kepala, bisa kususun menjadi sebuah karya malam ini. Kuteguhkan niat dalam dada, kumantapkan jemariku untuk mengukir kata. Berharap di antara spasi yang ada, ada rindumu yang terselip di antaranya. Meski tanpa suara.

Malam ini
Kembali aku menyapamu dalam sunyi
Bercengkerama dengan diri
Bertanya tentang apa yang akan kita perbincangkan 
seandainya kauada di sini

Aku yakin di sana
Kau pun mendengar jerit hati yang menganga
Menantimu di setiap detik yang ada
Menebar kerinduan yang semakin merajalela
Mengumandangkan satu demi satu aksara 
yang berjajar indah menyusun sebuah nama

Kamu. 

                                                   Jingga, 2018
                                                   Di malam yang semakin merindu

Kurebahkan diri di atas tempat tidur empuk berhias sprei bunga-bunga berwarna merah jambu. Kupandang langit-langit kamar yang juga berwarna merah jambu. Sejurus kemudian ingatanku melayang pada momen enam bulan lalu. Ketika ijab qobul diucapkan oleh Mega di hadapan Papa dan para saksi. Aku yang menyaksikan ijab qobul itu dari balik jendela kamar sempat sesenggukan. Air mata yang tak pernah kurencanakan hadirnya, begitu saja melenggang melewati ujung mata dan berjatuhan di kedua pipi dengan sempurna. Aku dituntun oleh Mama dan Bunda menemui seorang laki-laki yang kini berstatus sebagai suamiku. Kujabat tangannya dan kucium tangan itu untuk pertama kalinya. Hangat. Nyaman. Tangan inilah yang sampai nanti akan senantiasa menjaga dan melindungiku di segala suasana. Tangan itu pula yang nantinya akan dipergunakan untuk menjemput rezeki halal yang telah disiapkan oleh Tuhan untuk keluarga kecilku bersamanya. 

Dua bulan lalu, Mega kembali dengan kesibukannya menjadi peneliti di salah satu laboratorium swasta. Aku harus merelakan bersela sekian ratus kilometer jarak dengannya. Bahkan, aku pun harus merelakan sekian waktu untuk sekadar menunggu kabar darinya. Seperti saat ini. Sudah dua bulan sejak kepergiannya, belum satu pesan pun masuk ke ponsel pintarku, meskipun telah kunantikan hal itu hampir di setiap kupandangi benda kecil ajaib itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Saatnya kumatikan ponselku. Tapi tunggu dulu, kenapa layarnya tiba-tiba berkedip dan menampilkan sebuah percakapan.

Sayang, sudah tidur? Aku rindu. 

Mataku yang sedari tadi sudah mengantuk kembali terang. Kulihat sang pengirim pesan Febri Megantara. Kukerjapkan kedua mataku berkali-kali. Aku tidak sedang bermimpi!


Bersambung . . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar