Selamat datang di blogku ^_^

Selasa, 01 Mei 2018

Kamu dan Kota Sejuta Rindu

(Part 1)
Malam ini, entah mengapa masih ada yang berkecamuk dalam kepala. Segelintir memori memaksa untuk segera dituangkan dalam karya. Mungkin mereka sudah tidak sabar menyaksikan bagaimana ekspresimu ketika membacanya, atau barangkali memang mereka sedang diliputi bahagia sehingga ingin untuk segera membaginya. Baiklah, akan kutuliskan segera.

Malang, 28 April 2018
Ketika menuliskan tanggal tersebut, pasti ada beberapa orang yang berpendapat bahwa di dalamnya terkandung hal-hal yang istimewa. Tak salah sih, tetapi juga tak sepenuhnya benar. Ini hanyalah sebuah tanggal ketika dua anak manusia tengah diliputi bahagia karena kembali dipertemukan di kota yang sama-sama pernah ditinggalinya. Istimewanya mungkin juga hanya dirasakan oleh mereka. Ya, kita.

Awalnya sama sekali tak ada rencana untukku pergi ke kota yang hampir lima bulan tak kusapa. Namun, entah mengapa rasanya ada dorongan kuat untukku melangkahkan kaki ke sana. Terlebih ketika mengetahui ada saudara – teman bertengkar sih tepatnya – yang akan kembali ke perantauannya. Kota yang akan aku tuju juga. Apalagi someone special juga baru saja melewati satu tahapan menuju akhir studinya, seminar proposal.  Dan lagi, rasa-rasanya otakku juga butuh disegarkan usai tersibukkan oleh hal-hal yang lumayan menguras kinerjanya. So, aku putuskan untuk berangkat di tanggal itu, ketika surya baru saja menyingsing dengan kehangatannya.

Perjalananku bersama dengan saudaraku terasa begitu lambannya. Entah karena cuaca yang mulai memanas, kondisi badan yang terlalu lelah, atau pun beban yang dibawa terlampau berat, tak terketahui dengan jelas penyebabnya. Tetap kusyukuri perjalanan panjang itu. Sebab nanti, perjalanan itulah yang akan mempertemukanku dengan dia yang mengundang rindu. Dia yang selalu mengingatkan untuk sesegera salat lima waktu dengan pesan-pesannya yang syahdu. Dia yang tak pernah alpa mengingatkanku untuk senantiasa mensyukuri segala hal yang ditemui dalam kehidupan. Dia yang tak lupa mengingatkanku untuk selalu berhati-hati di setiap keadaan.

Lima jam. Cukup membuat punggung pegal dan bahu rasanya mau patah. Dua kali berhenti di sebuah minimarket karena lelah dan mengantuk, akhirnya sampai juga kami di kota tujuan yang dinanti-nantikan. Usai makan bersama, saudaraku pun menjatuhkan lalu meninggalkanku di sebuah penginapan. Dia jahat, kan? Hahaha. Untunglah saya tidak sendirian di sana, ada teman yang juga datang ke kota itu dan menemani saya di penginapan itu. Usai membereskan barang bawaan dan bercakap-cakap dengan temanku itu serta sesekali menanyakan kabar yang dibumbui cerita-cerita seputar kehidupan, aku pun beranjak ke kamar mandi. Mengingat sudah dekat waktu yang ditentukan untuk pertemuan. Pertemuan yang dirindukan.

Asar menggema. Usai kutunaikan kewajiban sebagai hamba, kulipat mukena dan kusenandungkan sejenak ayat-ayat-Nya. Lalu kupersiapkan diri dengan baik, tetapi tanpa dandanan berlebih. Sebab memang aku tak pandai memoles berbagai jenis make up – seperti mascara, blush on, eye shadow, pensil alis, eye liner – di wajah. Hanya sebatas bedak dan lipstik warna berry. Itu pun hanya kupoles sedikit saja. Namun, ada sebuah hal yang tetiba membuyarkan persiapanku. Aku lupa membawa bros yang harusnya bisa mempercantik jilbab. What will I do? Aku bingung. Temanku tertawa. Untunglah di sela tertawanya, dia mengeluarkan jarum pentul yang bisa membantuku. Ya, lumayanlah untuk menghias jilbab, walaupun masih terasa kurang pas. Hihihi.

Akhirnya, pertemuan pun tercipta. Pesan yang dia kirimkan mengabarkan kalau dia sudah sampai di depan penginapan. Aku cek kembali barang bawaan, jangan sampai ada yang tertinggal. Sebab ada suatu benda yang khusus kusiapkan untuknya. Aku berkaca sekali lagi dan berpamitan ke temanku yang ada di situ. Kuucap bismillah dan kulangkahkan kaki untuk menemuinya. Nyes. Adem sekali melihatnya duduk di atas motor. Dengan kemeja biru yang berpadu dengan celana hitam, dan kaca mata itu.. ah, entah mengapa terasa begitu memesona. Aku pun menyapanya dan menyunggingkan senyum ke arahnya. Dia mempersilakan aku untuk duduk di belakangnya. Membonceng. Tidak bisa kuekspresikan rasaku. Canggung, bingung, bahagia, campur aduk menjadi satu. Sebab memang baru pertama kali aku dan dia berboncengan begitu. Dan sore itu, dia mengajakku ke sebuah tempat yang baru pertama kali akan kudatangi.

Sampai di sana, tampak begitu banyak insan yang mengunjunginya. Tetapi untunglah, tak seramai yang kukira. Kita pun menyusuri tempat itu dan mencari tempat yang enak untuk menikmati senja. Lalu kita putuskan untuk duduk di bangku paling ujung. Deretan akhir yang memang letaknya paling bawah. Samping kanan kita membentang sebuah lahan kosong yang dipenuhi pepohonan. Syahdu. Kita duduk berhadapan, memesan makanan, dan saling bertanya kabar. Tak lupa pula berbagi cerita tentang apa yang telah dilakukan, dan beberapa juga hal-hal yang mengarah pada keseriusan. Aih, betapa rasa syukurku semakin membuncah kala itu, terlebih ketika kutahu bahwa orang tuamu pun memintamu untuk menemaniku selama di kota itu. Benar-benar sore yang syahdu.

Rasanya baru sebentar kita duduk, tetapi waktu tak berkompromi dengan hal itu. Ia tetap saja melaju. Maghrib hampir berkumandang ketika kita beranjak dari tempat duduk tempat itu. Menyisakan butiran kenangan yang akan terus mengiang dalam ingatan. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, entah mengapa hawa dingin tetiba merasuk dalam tubuhku. Aih, kenapa tadi tidak terpikir untuk membawa jaket? Lupakah aku bahwa tengah berada di kota yang suhunya tak tentu. Dan kali ini, ia benar-benar hampir membuatku membeku. Untung saja di dalam tasku ada tisu yang sangat membantu. Hawa dingin benar-benar membuatku mau tak mau harus bolak balik mengusap hidung. Menghalau air yang menetes dari sana. Tapi tenang, tak perlu khawatir. Itu memang reaksi tubuhku ketika terkena hawa dingin. 

Maghrib pun bertakbir. Kaumemutuskan untuk bersujud di sebuah musala dekat penginapanku, dan aku salat di penginapan. Selepas salat, kaukembali menjemputku di penginapan. Bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Sebenarnya aku sedikit merasa bersalah karena mengganggu agendamu hari itu, terlebih aku tahu tanggung jawab yang harus kauemban di tempat pengabdianmu. Namun dengan merdunya kaumenenangkanku. Menjelaskan panjang lebar bahwa sudah ada yang menggantikan tugasmu. Baiklah, cukup lega rasanya. Petang itu, sebelum kita sama-sama melanjutkan laju, kaumemintaku untuk menemanimu makan malam. Sebuah rumah makan padang kaupilih untuk memanjakan lidahmu. Maaf, aku tak ikut memesan. Menemanimu makan saja sudah membuatku senang. Bukan karena aku tak ingin makan, tetapi memang saat itu perutku sama sekali tak merasa lapar. Bukankah anjuran Rasul bahwa makan itu lebih baik ketika merasa lapar? Lagi pula, cadangan makanan di tubuhku masih ada. So, makanlah. Aku senang memerhatikan kamu makan dengan selipan kisah-kisah yang semakin membuat syahdu petang itu.

Tanpa terasa, Isya sudah mengumandang. Kita pun beranjak dari rumah makan padang itu dan lekas mencari masjid untuk salat. Rasa gemas tetiba menghinggapi ketika setiap tempat salat yang kita lewati, sudah tutup dan dikunci. Untunglah masih ada masjid yang masih ramai dan tentu saja tak terkunci. Lalu, kita pun salat di sana. Sebelum akhirnya melanjutkan laju.

Awalnya, kita memang berencana menghadiri sebuah perhelatan memperingati wafatnya pujangga kebanggaan Indonesia, Chairil Anwar. Namun, karena padatnya lalu lintas kota dan jauhnya jarak ke tempat acara, membuat kita mengurungkan hal itu. Planning awal pun berubah. Kaumemutar laju dan mengajakku ke toko buku. Ah, romantis sekali. Beriringan menyusuri tumpukan buku yang kadang-kadang mengundang khilaf dalam diri. Tertawa bersama, debat kecil, dan saling memberi masukan perihal buku mana yang dipilih dan dibeli rasanya menjadi bumbu-bumbu pemanis malam itu. Sepuluh menit menjelang toko buku tersebut tutup – itu pun ditahu dari pengumuman mbak-mbak manis di pengeras suara – kita pun menuruni tangga dan membayar di kasir. Maaf, kali ini saya tidak ingin didahului. Setelah senja tadi kaumembayar semua hal di semua tempat, sekarang adalah giliranku. Anggap saja ini kado yang kupersembahkan untuk langkah awalmu menyelesaikan tesis. 

Pukul 21.00 tepat kita meninggalkan toko buku itu dan kaumengantarku kembali ke penginapan.
.... (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar